Pengalaman Survey ke Desa Belandingan, Kintamani

Selamat datang kembali di Coretan Arya, tempat dimana aku akan membagikan pengalaman dan perjalananku yang seru dan berkesan. Karena aku sekarang sedang menempuh kuliah Arsitektur, jadi akan ada banyak pengalaman-pengalaman perkuliahan yang akan aku bagikan. Sebagai mahasiswa arsitektur semester 6 tentu banyak sekali hal-hal baru yang aku dapatkan, menyenangkan sih, dan aku senang bisa menuliskannya di blog kesayanganku ini.

Sebagai seorang mahasiswa, tentu kita pernah melakukan survey ke tempat-tempat tertentu. Jangankan mahasiswa, siswa SMA pun pasti sudah mulai melakukan survey, terutama untuk siswa-siswa yang sedang melakukan peneliitian ilmiah di kelompok studinya. Tapi perlu diingat ya, survey dan observasi itu gak sama loo. Mudahnya, survey itu adalah saat kita mengunjungi suatu tempat untuk melakukan penelitian, dan mencari informasi tertentu dengan metode statistik. Jadi dalam penelitian itu, survey akan dilengkapi dengan daftar-daftar pertanyaan yang dibagikan kepada responden. Sedangkan observasi berarti saat kita mengunjungi suatu tempat dan langsung melakukan penelitian berdasarkan tujuan dan ilmu yang kita miliki. Observasi juga gak menggunakan metode statistik seperti survey.

Seperti yang aku ceritakan di postingan sebelumnya, di semester 6 ini aku mengambil mata kuliah Arsitektur dan Budaya, kebetulan aku juga sebagai korti di mata kuliah ini. Perkuliahan dilaksanakan setiap hari Selasa jam 4 sore, tentunya dengan sistem daring. Di setiap minggunya ada tugas-tugas yang diberikan. Sebagai korti ini tantangan tersendiri bagiku, karena aku harus meneruskan arahan dari dosen mengenai penugasan yang diberikan. Aku juga harus siap sedia jika muncul pertanyaan dari teman terkait tugas, kalau aku mampu menjelaskan pertanyaan itu, aku akan langsung menjelaskan. Tapi kalau aku gak tau bagaimana penyelesaiannya, tentu akulah yang harus menghubungi dosen. Uniknya, teman-teman itu jarang ada yang mau bertanya saat tugas itu dijelaskan di perkuliahan, nanti setelah kuliah berakhir, barulah mereka pada nanya ke korti. Yaudah.. aku ladeni semua itu.

"Kenapa sih kalian kalo bingung nggak nanya tadi aja sekalian sama dosennya??" 

Karena hal ini, aku sering mikir kalo kuliah offline rasanya lebih mudah sebagai korti. Karena kalo aku atau teman-teman ada yang bingung mengenai tugas, bisa langsung datang ke ruang dosen untuk bertanya sepuasnya. Kalo kuliah online gimana dong?? Memang sih bisa langsung melalui aplikasi perpesanan, tapi kan gak sepuas itu bisa bertanya, pasti ada-ada aja bagian yang masih membingungkan, belum lagi dosennya slow respon, pasti sangat ribet. Dan aku sedang melalui masa-masa ini, dimana dosen pengampuku yang selalu bales chat selang satu hari.

Ternyata enak juga ngomongin nasib sebagai korti ya. Tapi topik pembahasan kali ini bukan tentang itu. Aku akan menceritakan pengalamanku bersama teman-teman ke salah satu desa Bali Aga. Desa Bali Aga adalah desa tradisional di Bali, yang belum terkena pengaruh dari kebudayaan Majapahit.Tujuanku dan teman-teman ke desa Bali Aga ini adalah untuk melakukan survey mengenai ruang-ruang publik di desa itu. Ruang publik itu adalah ruang-ruang yang tercipta karena adanya aktivitas dan budaya masyarakat setempat, sehingga dibangunlah ruang publik itu untuk mewadahi aktivitas-aktivitas mereka. Kalau di Bali, ruang publik ini umumnya berupa bale banjar atau wantilan.

Aku merasa senang bisa kesana, tapi ada kekhawatiran juga. Sebenarnya aku ini orang yang jarang ke luar rumah, begitu mendapat tugas untuk melakukan survey ini, aku jadi sedikit takut, karena lokasinya begitu jauh dari rumah dan masuk ke pelosok. Hal-hal yang gak pernah kebayang untuk aku lakukan di semester ini. Tapi demi kelancaran kuliah, aku dan temen-temen kelompok studiku harus meluangkan waktu untuk pergi kesana.

1. Pemilihan desa 

Desa Bali Aga yang aku tuju adalah Desa Belandingan yang terdapat di kecamatan Kintamani, kabupaten Gianyar. Pemilihan desa ini aku usulkan kepada teman-teman karena mempertimbangkan jarak antar rumah. Aku ingin agar desa yang terpilih nanti gak terlalu jauh bagi aku dan teman-teman, sehingga akan lebih aman menuju kesananya. Selain itu, ada juga pertimbangan terhadap literatur. Sebisa mungkin, desa yang akan dikunjungi nanti telah ada literaturnya di internet/perpustakaan online, agar mempermudah kelompok untuk mencari informasi-informasi umum mengenai desa tersebut. Setelah beberapa kali mempertimbangkan dengan desa lainnya, akhirnya desa Belandingan inilah yang terpilih.

2. Persiapan Perjalanan

Ceritanya hari itu adalah hari Selasa, tanggal 6 April 2021. Hari itu perkuliahan Arsitektur dan Budaya ditiadakan oleh dosen pengampu, jadwal diganti menjadi survey lapangan bagi masing-masing kelompok. Mulai dari hari itu, hingga seminggu ke depan, kami dan kelompok lainnya diberi waktu untuk mengunjungi desa pilihan masing-masing untuk mengumpulkan data. Ada sedikit kendala ketika aku dan teman sekelompokku memutuskan pergi kesana, yaitu kendala terhadap jadwal dan waktu. Kesibukanku sebagai korti dan adanya Kerja Praktek (KP) membuat aku pribadi bingung menentukan kapan kira-kira kami dapat berkunjung kesana. Aku sebenarnya ingin memaksimalkan waktu di hari Selasa itu untuk mengerjakan tugas-tugasku, lalu melakukan survey di weekend. Siapa yang tidak tergiur untuk membuat tugas ketika ada libur secara gratis? 

Hampir 1 jam aku bimbang, akan survey atau tidak ya. Masalahnya bila ditunda-tunda, kapan lagi ada waktu kecuali hari itu. Tapi bila aku survey, aku akan menelantarkan tugasku, padahal hari esoknya (Rabu 7 April 2021) akan ada presentasi tugas yang sangat penting di mata kuliah lainnya. Akhirnya aku memutuskan untuk melakukan survey, karena aku tidak mau membebani teman lainnya karena egoku sendiri. Setelah itu, aku hubungi teman-teman untuk berkumpul di titik pertemuan pukul 14.00 Wita. Aku pun langsung mandi dan bergegas menyiapkan barang-barang untuk survey. Sebenarnya aku sedikit khawatir juga, karena ini pertama kalinya aku akan berkunjung ke desa yang ada di pelosok, cuaca hari itu juga sedikit mendung, ditambah tugasku yang belum selesai. Perasaan yang bercampur aduk. Tapi aku yakin, kalau kami sudah kesana, pasti akan mendapat banyak informasi yang bermanfaat sebagai bahan tugas. Pokoknya harus kesana dulu. 

3. Berangkat Menuju Titik Kumpul

Titik kumpul diusulkan oleh teman kelompokku yang bernama Baskara, panggilannya Bas. Orangnya pintar, asik, dan punya selera humor. Titik kumpul kami sepakati di salah satu minimarket di dekat desa Belandingan. Waktu tempuh dari minimarket ke desa Belandingan sekitar 1,5 jam. Cukup jauh juga. Sebelum aku berangkat kesana, aku datang dulu ke rumah Mahesa, salah satu dari teman kelompokku juga. Mahesa ini panggilannya Mahes, orangnya lucu, suka ngedumel sendiri, agak ceroboh, tapi rajin. Dia juga orang yang cukup religius, dan katanya dia punya indra ke 6 loo. Aku datang ke kesana karena Mahes menghubungiku sebelumnya, dia pingin berangkat bareng, katanya sih dia gak tau jalan ke lokasi. Sama sih hahahah... aku yang nolep ini lebih gak tau lagi daripada kamu Hes :') Tapi gak apa-apa, setidaknya aku ada temen untuk berangkat kesana. Dan akan lebih mudah juga, karena Mahes yang aku bonceng bisa melihat google maps. 

Teman kelompokku yang terakhir namanya Intan. Satu-atunya cewek di kelompokku. Intan ini berasal dari Tabanan, orangnya pintar, punya jiwa bisnis, takut anjing, agak garing, dan suka ketawa-ketawa sendiri. Tapi dia ini sangat menghargai teman-temannya loo. Intan ini kayaknya belum bisa naik motor, jadi dia ke titik kumpul dianter sama bapaknya.

Kembali lagi ke perjalananku sama Mahes. Selama di perjalanan, aku memutuskan untuk mengendarai motor pelan-pelan saja. Aku ingin tenang, sehingga mengurangi resiko kecelakaan. Setelah 2 jam-an di perjalanan, akhirnya aku sampai di lokasi titik kumpul. Ternyata lokasi titik kumpul ini gak asing bagiku, karena saat SMP aku sering jalan-jalan ke daerah ini bersama keluarga. Daerah ini memang menyajikan pemandangan yang begitu indah, mengarah langsung ke salah satu gunung di Bali, yaitu gunung Batur. Cuacanya dingin sekali, sambil menunggu teman-teman yang lain, aku memutuskan untuk membeli mie cup kuah yang hangat. Mie cupnya ada sih, tapi mesin penyeduhnya ternyata lagi rusak, dan akhirnya gak jadi beli deh. Akhirnya aku membeli beberapa snack untuk aku nikmati sambil melihat pemandangan gunung Batur.

Selama menunggu 2 teman yang belum datang, aku sedikit berbincang dengan Mahes mengenai mata kuliah Studio Perancangan Arsitektur 4 (SPA 4). Tugas  SPA 4 inilah yang memenuhi pikiranku selama perjalanan tadi. Karena bobot tugas yang besar, kami tidak boleh lalai dalam mengikuti setiap perkuliahan SPA 4 ini. Aku dan Mahes sama-sama setuju kalau tugas SPA kali ini sangat berat, karena tema tugasnya adalah merancang Rumah Sakit Tipe A berstandar internasional + perhatian perancangan terhadap Covid-19.

Di tengah-tengah obrolan kami, datanglah Bas. Bersama Bas, kami beralih topik perbincangan. Sekarang kami membahas Kerja Praktek (KP). Bas berbeda dengan aku dan Mahes, dia mengambil KP Perencanaan, sedangkan aku dan Mahes mengambil KP Pengawasan. Bas pun membeli beberapa snack dan minuman. Sekitar 10 menit kemudian datanglah anggota kelompok kami yang terakhir, yaitu Intan. Sebenarnya kami semua sampai tidak tepat waktu. Pukul 3 sore kami berempat baru berkumpul, padahal rencana awalnya adalah pukul 2 siang. Setelah semua siap, kami langsung menuju ke desa Blandingan.

4. Berangkat Menuju desa Bali Aga Belandingan

Kami berangkat menggunakan 2 motor, aku bersama Mahes dan Bas bersama Intan. Aku dan Mahes berada di depan, sambil mengikuti arahan google maps yang dibuka oleh Mahes. Perjalanan berjalan dengan lancar. Kami sebetulnya tidak tau kemana arah untuk mencapai desa tujuan kami, maka dari itu, kami benar-benar mengandalkan google maps. 

Perjalanan ke desa Bali Aga tidaklah mudah. Akses jalan yang curam dan berliku-liku membuat kami harus tetap waspada. Jalan yang berliku ini sangat berbahaya, belum lagi ada kendaraan sejenis pick up dan truk dari arah berlawanan. Perjalanan kami menelusuri daerah pelosok ditemani oleh pemandangan pegunungan yang indah. Cuacanya juga sangat dingin.

Setelah cukup jauh turun ke bawah, kami akhirnya menemui jalan yang datar. Tanpa disadari akhirnya kami sampai di kecamatan Kintamani. Aku dan Mahes sangat kegirangan, mengetahui kami sudah sampai di wilayah Kintamani. Hal ini menandakan perjalanan kami tidak akan lama lagi dan dapat segera melakukan survey. Aku dan Mahespun mulai memikirkan, kata-kata apa yang akan kami ucapkan ketika bertemu dengan penduduk disana, dengan siapa kami akan bertemu, dan kemana kami akan menuju sesampainya disana. 

Meskipun kami sudah memasuki kecamatan dari desa Belandingan itu, perjalanan kami tidaklah mulus. Beberapa kali kami salah jalan. Mungkin karena lokasi desanya yang sangat dipelosok, sehingga google maps pun kadang-kadang tidak menjangkau lokasi tujuan kami. Beberapa kali kami harus memutar balik dan bertanya dengan penduduk-penduduk disana. Karena khawatir, aku sampai tidak memperhatikan waktu, entah itu jam berapa. Sepertinya sih itu sudah sekitar jam 4 sore.

5. Insiden di Jalan Tanjakan Berliku

Intan yang ramah tidak segan menanyakan alamat ke penduduk sekitar. Bas dan Mahes sibuk mencari lokasi di Google Maps. Sedangkan aku yang sudah negative thinkingcuma bisa diam di motor sambil mendengar pejelasan penduduk sekitar. Setelah memahami penjelasan penduduk, kamipun melanjutkan perjalanan. Bas dan Intan sekarang berada di depan, sementara aku dan Mahes mengikutinya dari belakang. Beberapa saat kemudian, kamipun berjumpa dengan jalan yang menanjak ke atas dan berliku. Bas dan Intan melalui jalan itu dengan lancar. 

Aku tanpa firasat apa-apa langsung melalui jalan itu. Saat menanjak ke atas, aku merasa seperti kehilangan keseimbangan. Aku pun berusaha tenang dan menyeimbangkan diri. Mahes pun mengingatkan :

"Ar, hati-hati Ar"

Aku lupa, apakah aku menjawab ucapannya atau tidak. Aku benar-benar berusaha melalui jalan itu. Tapi ketika di tengah-tengah jalan, tarikan gas ku seperti tidak terasa. Padahal aku sudah menarik gas, tapi motorku seperti tidak bisa menanjak, motorku menjadi sangat berat dan gak bisa kukendalikan keseimbangannya. Parahnya lagi, kakiku gak sampai menapak tanah dan akhirnya di tengah-tengah jalan yang menanjak itu motorku oleng ke kiri dan hampir jatuh ke tanah. Aku sangat panik tapi berusaha untuk tetap tenang. Aku takut motor ini akan merosot ke bawah, mengingat ini sudah di tengah-tengah tanjakan. Aku berusaha menahan motorku sambil terus menarik rem. Mahes pun turun.

"Ar Ar, matiin motornya Arr", Mahes kedengaran panik juga.
"Aku gak bisa nok, bisa tolong matiin motornya Hes??"

Motorku sangat berat dan gak tau harus apa. Tiba-tiba saja datang 4 (kalau gak salah) orang pria dari arah berlawanan dengan sepeda motor. Mereka kemudian turun dan membantuku.

"Mas, mas matiin dulu motornya mas", kata salah satu pria itu.
"Gak bisa mas, kuncinya gak mau keputer", aku udah berusaha muter kunci motorku tapi anehnya gak mau keputer sama sekali.
"Ar matiin dulu motornya Ar", kata Mahes lagi.

Setelah aku coba terus, akhirnya kunci motorku mau keputer dan motornyapun berhasil kumatikan. Pria-pria itu pun menahan motorku. Salah satunya menyuruhku untuk menghidupkan motor kembali dan coba naik ke atas pelan-pelan. Setelah berhasil menapak di tempat yang agak datar, akupun turun sejenak dari motor dan menenangkan diri. Setelah itu, Mahes yang mengendarai motorku, dan aku berboncengan dengan pria yang tadi menolongku. Setelah sampai diatas, aku dan Mahes mengucapkan terimakasih, sambil menanyakan lokasi ke desa Belandingan. Setelah menjelaskan lokasi desa tujuan, pria itu kembali turun dan melanjutkan kegiatannya bersama teman-temannya yang lain. Aku yang berboncengan dengan Mahes juga kembali melanjutkan perjalanan ke desa Belandingan.

6. Bertemu dengan Bas dan Intan, Lalu Melanjutkan Perjalanan ke Desa Belandingan

Aku dan Mahes melanjutkan perjalanan sambil mengingat penjelasan pria tadi. Gak lama kemudian Bas menelpon ke HP nya Mahes, akupun mengangkat telponnya. Setelah itu, kami semua akhirnya bisa bertemu kembali. Saat itu sudah jam setengah 5 sore. Aku benar-benar gak menyangkan kalau perjalanan ke desa Belandingan akan sangat lama dan penuh rintangan. Beberapa kali kami tersesat dan gak tau arah jalan, tapi aku yakin cepat atau lambat pasti akan sampai di tujuan. Yang aku takutkan adalah pada saat pulang nanti hari sudah keburu gelap. Saat terang aja udah bersusah payah melakukan perjalanan, apalagi kalau gelap nanti.

Karena alur perjalanan sudah semakin tidak jelas, akhirnya kami memutuskan untuk bertanya lagi ke penduduk sekitar. Aku benar-benar harus berteimakasih kepada teman-teman yang lain. Tanpa mereka, kami tidak akan mendapat informasi mengenai lokasi desa Belandingan. Perlahan-lahan, kami terus mengumpulkan informasi mengenai lokasi desa Belandingan. Akhirnya sampailah di suatu pertigaan, lalu Intan turun lagi untuk bertanya. Kebetulan disana ada warung yang sedang ramai.

"Ikuti pertigaan yang ini dik, setelah itu lurus terus sampai mentok, terus belok kiri. Sampai dah di desa Belandingan", kata bapak-bapak yang ada di warung itu.

Kami sangat lega mendengar penjelasan bapak itu. Merekapun menanyakan alamat kami, setelah sedikit bercengkrama kami lalu mengucapkan terimakasih dan langsung melanjutkan perjalanan. Setelah terus mengikuti jalan, akhirnya kami sampai ke jalan mentok yang dijelaskan bapak tadi dan belok kiri. Setelah terus mengikuti jalan, sampailah kami di suatu permukiman, tapi ini belum memasuki desa Belandingan. Aku dan Mahes agak kaget, karena permukiman disini lumayan padat, sangat berbeda dengan daerah di atas yang berupa tebing-tebing curam. Berarti saat ini kami sudah ada di daerah pelosok desa. Di desa ini aktivitas penduduknya tidak berbeda jauh dengan di kota, ada tempat persembahyangan, warung-warung kecil, rumah penduduk, dan balai tempat berkumpulnya para warga. Hanya saja sarana dan prasarana tersebut sangat sederhana. Saat itu Mahes sempat nanya ke aku, bagaimana kalau kami menggunakan desa ini saja, karena desa Belandingan masih jauh. Tapi aku bilang nggak usah, tetepin aja tempat tujuan kita, karena itu merupakan keputusan bersama, dan sudah kita pertimbangkan juga dengan desa lainnya. Lagipula kami sudah menemukan literatur mengenai desa Belandingan itu. Setelah itu kami terus melanjutkan perjalanan, Bas dan Intan menuntun kami dari depan.

7. Sampai di Desa Belandingan

Setelah melewati batas wilayah permukiman tersebut, kami kembali menemui jalan yang berupa tebing-tebing. Cuacanya mulai dingin lagi, di samping kiri kami adalah view permukiman dari atas, dan di samping kanan kami adalah tebing yang berwarna hijau karena dipenuhi tumbuhan lebat. Aku gak menyangka membutuhkan waktu selama ini untuk mengunjungi desa Belandingan. Sekitar 10 menit kemudian, kami mulai melihat perkebunan, atap-atap bangunan yang terbuat dari seng, dan warga yang bergotong royong membangun rumah. Aku bertanya-tanya, apakah ini adalah desa Belandingan atau bukan. Ternyata benar, kami berempat telah sampai di desa Belandingan. Hal ini dipertegas dengan adanya papan nama "Desa Belandingan", aku merasa sangat senang dan lega. Aku gak menyangka akhirnya setelah sekian lama akhirnya kami berhasil sampai di desa Bali Aga tujuan kami. 

Sesampainya disana, kami langsung mencari tempat parkir. Kami memarkir motor di sebelah warung yang sudah tutup. Setelah itu kami merapikan barang-barang dan bersiap untuk melakukan survey. Ketika kami sedang bersiap-siap, datanglah bapak-bapak dari gang di depan kami. Bapak itupun menanyakan tempat asal kami. Aku dan teman-teman menjelaskan bahwa kami merupakan mahasiswa yang diminta untuk datang ke desa Bali Aga, dan meneliti ruang publik yang ada disana. Setelah berbincang-bincang sebentar, bapak itu kemudian mengajak kami ke Wantilan di desa itu. 

Pada desa-desa pakraman di Bali, pasti akan ditemukan bangunan wantilan. Wantilan merupakan bangunan sakral yang dibuat untuk mewadahi aktivitas masyarakat desa setempat, umumnya wantilan ini bersifat serba guna. Wantilan di desa Belandingan ternyata tidak jauh dari tempat kami memarkir kendaraan, sekitar 5 menit berjalan kaki kami sudah sampai di wantilan desa. Setelah sampai di wantilan, bapak itu mempersilahkan kami untuk melihat-lihat. Kemudian, setelah saling mengucapkan terimakasih, bapak itu meninggalkan kami berempat. Warga desa Belandingan pun melihat-lihat kami, aku berusaha menjaga keharmonisan dengan tersenyum sambil mengucapkan salam. Mahes lalu mengambil meteran dan mulai mengukur dimensi wantilan. Ada beberapa aspek yang harus kami gali dalam survey ini, diantaranya adalah dimensi bangunan, dan kebudayaan yang berlangsung terkait dengan fungsi wantilan itu. Aku dan Mahes mulai mengukur bangunan wantilan, Intan melakukan pencatatan dan dokumentasi, dan Bas gak ngapa-ngapain, cuma ngeliat-liat aja. 

Gak sedikit warga yang mendatangi kami dan bercengkrama. Penduduk disana cukup ramah dalam menerima orang luar. Ada sedikit perbedaan yang aku amati, antara permukiman di kota Denpasar dan desa Belandingan. Di desa Belandingan, warganya membaur satu sama lain, sore itu rasanya semua warga sedang ada di luar rumah mereka. Pagar-pagar rumah warga tidak terlalu tinggi, mungkin sekitar 1 meter, hal ini memberikan kesan pemilik rumah yang terbuka dengan para tamu, karena wujud rumah dapat terlihat sepenuhnya dari pinggir jalan. Akses jalan di permukiman sangat sepi. Lebar jalan sekitar 3 meter dan jarang sekali dilalui kendaraan bermotor, kebanyakan warganya berjalan kaki. Kira-kira seperti itulah gambaranku mengenai keadaan di desa Belandingan.

Saat kami sedang mempelajari wantilan disana, datanglah bapak-bapak. Bapak itu menggunakan kaos hitam, celana panjang berwarna hitam, masker hitam, dan sambil memegang rokok, akupun langsung menemui bapak itu. Ternyata beliau adalah kepala dusun di desa Belandingan, nama beliau adalah Putu Sarjana. Aku pribadi sangat tersanjung karena bapak kepala dusun langsung menemui kami dengan ramah. Berbeda dengan di daerah perkotaan, dimana seorang kepala dusun biasanya agak sulit untuk ditemui.

Pak Putu Sarjana bercerita banyak mengenai wantilan itu. Setelah cukup lama bernincang, pak Putu Sarjana pun undur diri, dan mempersilahkan kami untuk melakukan pengukuran dan mengambil dokumentasi. Kamipun melakukan observasi dengan bergegas, agar saat pulang nanti suasana tidak terlalu gelap. Gak terasa, jam sudah menunjukan pukul 6 sore.

"Yuk cepet-cepet, biar nggak terlalu gelap", kata Bas mengingatkan yang lain.
"Oh iya lo", jawabku yang gak sadar udah jam berapa.

Setelah semua data dirasa sudah lengkap, kamipun bersiap untuk pulang. Lega sekali rasanya, perjalanan yang aku anggap mustahil akhirnya hampir menuju bagian akhir. Sebelum pulang aku mengantar Mahes untuk meminjam toilet dulu, Mahes meminjam toilet salah satu warga. Setelah itu kamipun langsung menuju tempat parkir. Sayangnya, kami tidak sempat berpamitan dengan bapak-bapak yang kami telah temui sebelumnya. Semua warga sudah masuk ke rumah masing-masing karena hari sudah petang. Aku dan Mahes langsung naik ke motor, sementara itu Bas dan Intan menuntun kami dari depan.

8. Perjalanan Pulang ke Denpasar

Selama perjalanan pulang, kami berempat baru menyadari kalau google maps mengantar kami ke jalan memutar saat menuju ke desa Belandingan. Ternyata, saat ke desa itu kami mengitari gunung Batur, hal inilah yang membuat perjalanan kami begitu lama, bahkan sampai melewati medan-medan yang curam. Kami menuju ke titik kumpul awal dulu untuk mengantar Intan, karena bapaknya menunggu disana. Setelah berpamitan dengan Intan dan bapaknya, aku, Mahes, dan Bas pun langsung menuju Denpasar melalui daerah Payangan. Gak lupa juga untuk menyiapkan google maps. 

Perjalanan pulang kami berjalan dengan lancar. Ternyata jalan pulang kami melewati rumahnya Bas, ia pun langsung pulang sambil menyapa menggunakan klakson. Sekarang tinggal aku dan Mahes yang menuju Denpasar. Selama perjalanan, gak banyak pembicaraan diantara kami, karena sama-sama sudah lelah. Aku menuntun Mahes dengan google maps di ponselku. Saat itu hari sudah gelap, jam menunjukan pukul 7 malam. Perutku udah laper dan berharap semoga bisa cepet sampai rumah. Gak hanya untuk segera makan, tapi juga untuk segera mengerjakan tugas SPA 4 ku yang akan dipresentasikan esoknya. 

Sekitar jam setengah 8 akhirnya kami sampai di daerah Denpasar. Akhirnya aku lega, setidaknya aku bisa menerka-nerka pukul berapa akan sampai di rumah. Sekitar jam 8 sampailah kami di rumah Mahes. Setelah tos-tosan dan berbincang sebentar akupun pamit dan langsung pulang ke rumah.

Perkenalan Tokoh :

 
Terimakasih telah mengikuti cerita perjalananku, semoga cerita ini dapat menghibur kalian. Nantikan lagi cerita-ceritaku di blog-blog Coretan Arya selanjutnya. Sampai jumpa.

Comments

Baca Juga Tulisan Lainnya :

Momen-Momen Saat Light Yagami Terlihat Begitu Bodoh

Apa Yang Terjadi Jika Nyamuk Musnah Dari Muka Bumi?

Gema Selonding di Sanur Village Festival 2019 - Persiapan, Penampilan, Kesan dan Pesan